Dinda

Flash Fiction / Psychological

Published by Bimata Prathama on April 7, 2014

Also published on f399 IDGS Menulis Forum

. . . . . . .

Aku terbangun.

Kulihat-lihat pemandangan sekelilingku. Oh, ternyata aku terbangun di sebuah gang kecil. Aku mencoba terbangun dari tempatku tertidur.

Ternyata kaki kiriku pincang. Di bagian lutut ada luka yang menganga sampai tulangnya terlihat. Terlihat sakit sekali rasanya. Selain itu, terasa seperti ada yang mengganggu di bagian kepala. Kondisi seperti ini tidak mungkin dibiarkan saja mengingat adanya bahaya akan infeksi.

Ah sudahlah. Sebaiknya aku mulai keluar saja dari gang ini.

 

Setelah keluar dari gang itu, aku mulai melihat keadaan sekitar.

Langit terlihat mendung.

Gedung, rumah, pagar, jendela, semuanya terlihat penuh dengan lumut.

Suara? Hanya terdengar suara angin dan bunyi tikus merayap.

Rasanya kemarin tidak sesuram ini suasananya. Untung saja aku hafal jalannya karena aku sangat kenal dengan daerah ini. Cukup dekat dengan rumah. Mungkin sebaiknya aku pulang.

 

Aku terus berjalan dengan pincang. Kucoba mengingat kembali kejadian yang terakhir kualami sebelum tertidur.

Kencan pertama dengan Dinda, cewek yang aku taksir di kelas. Tidak ada yang terlalu spesial. Hanya berjalan berdua saja di daerah ini.

Tapi entah mengapa, aku merasa sangat special dengan kencan ini.

Dinda selalu tersenyum manis.

Memperhatikanku dengan wajah serius yang imut ketika aku bercerita masa kecilku. Tertawa kecil ketika aku berbicara hal konyol. Dinda tidak banyak berbicara saat itu. Hanya bercerita tentang keadaan rumahnya.

Pokoknya, aku tidak sabar bertemu lagi dengan Dinda.

 

Ah, terlihat juga rumahku.

Lho? Kenapa ada dua orang bersenjata rifle di depan rumah? Ada apa dengan mobil bak yang menampung orang banyak itu?

Aku terus berjalan mendekati rumah, mencoba mencari tahu apa maksud semua ini.

Terlihat mama dan papa keluar dari rumah, bergegas menuju mobil bak yang aku lihat tadi. Sudah kubayangkan mereka akan khawatir setengah mampus ketika melihat kondisiku ini.

 

Namun, sama sekali tidak.

Ketika mama menoleh kearahku, dia malah berteriak ketakukan.

Aku hanya bisa bingung. Tiba-tiba entah kenapa, langsung teringat bagian kepala yang sejak tadi terasa menggangu. Reflek, langsung saja kugenggam apapun itu dan kuposisikan di depan mataku.

Apa ini? Terasa cair. Ini, otakā€¦?

Jadi mama meneriaki otak yang keluar dari kepalaku? Harusnya aku sudah mati. Anehnya sekarang aku tetap berjalan seperti orang hidup.

Mendadak, dua orang bersenjata tadi mengarahkan rifle-nya kearahku.

Ah, sial. Hilang sudah harapanku untuk bertemu lagi dengan Dinda.

Sekarang aku merasa lapar. Aku harus makan.

Brains.


Share: