Ten

Short Story / Drama, Slice of Life

Published by Bimata Prathama on December 15, 2012

Song: Ten by Yellowcard

Also published on f395 IDGS Music Forum

. . . . . . .

“Papa~~ ayo bangunnn~~~ katanya mau mengantar aku sekolah?”

“Iya iya. Sebentar ya, Papa mau liat jam dulu.”

Dengan setengah ngantuk, aku meraih jam weker di meja sebelah kanan tempatku tidur. Bagus, masih jam 6 pagi. Masih banyak waktu sampai Billy sekolah pukul 08.00.

Langsung saja aku bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Billy juga masuk ke kamar mandi yang sama. Entah kenapa, kali ini dia mengikuti semua gerakanku. Aku cuci muka, dia cuci muka. Aku sikat gigi, dia sikat gigi. Aku cukur jenggot, dia—

“Loh Billy? Kok gerakan Papa yang ini tidak diikutin?”

“Papa ini bagaimana sih… Kan aku belum punya jenggot!” Billy mengkerutkan dahinya sambil memegang-megang pipi dan dagunya. Lucu sekali. Kami pun tertawa setelahnya.

Tak lama setelah kami keluar dari kamar mandi, tercium sebuah aroma yang sedap. Baunya seperti sesuatu yang sedang dibakar. Oh, itu pasti bau roti bakar yang sedang dimasak Hayley.

“Tuh Mama sepertinya lagi memasak roti bakar. Ayo cepat ganti bajumu, Billy. Kita akan langsung berangkat setelah sarapan.”

“Mmm~!” Billy menganggukkan kepalanya dengan semangat.

. . . . . . .

“Tom, bisa kesini dulu sebentar?” Hayley yang sedang berada di dapur memanggilku.

Billy sepertinya asyik sekali menghabiskan roti bakarnya itu. Ah, kurasa tak apa-apa jika aku meninggalkannya sebentar saja.

“Ya, ada apa sayang?”

“Hei~~~ anak kita sudah sebesar itu lho. Masa kita belum menikah juga?” Tanya Hayley dengan nada yang agak mengejek.

“Hahaha sudah kuduga pasti kamu akan bertanya seperti itu. Yah kamu tahu sendiri kan, penghasilan kita belum cukup untuk menutup biaya pernikahan beserta pestanya.”

“Iya aku tahu kok, aku juga tidak mau sehabis kita menikah malah banyak hutang-piutang di sana sini. Anggap saja aku akan bertanya seperti itu terus supaya kamu akan selalu ingat, hihihi.” Hayley berkata seperti itu disertai senyum manis yang agak bandel.

Hhhhh sang ibu tidak kalah menggemaskan dari anaknya.

“Papaa~~~ aku sudah selesai makan! Ayo berangkat ke sekolah!” Dengan semangat, Billy langsung mengambil tas kesayangannya.

“Tuh Billy sudah siap. Ayo cepat keburu kalian telat. Lihat itu sudah pukul 07.00.” Ucap Hayley sambil menunjuk sebuah jam dinding.

“Oke deh kalo begitu, bye Hayley!

Bye Mom!

“Hati-hati di jalan ya kalian berdua.”

Hayley menunduk dan mencium pipi Billy. Setelah itu, dia melihatku, dengan senyumnya yang khas, dan mendaratlah ciumannya di pipiku. Rasanya, aku seperti menjadi orang paling bahagia dengan dua makhluk penuh cinta di sekitarku.

Berangkatlah aku dan Billy dengan mobil kesayanganku. Tidak lupa kami melambaikan tangan ke Hayley yang sedang berada di teras rumah sebelum mobil ini aku jalankan.

. . . . . . .

Pukul 07.30 am.

Kami sudah sampai di sekolah. Aku melihat ke arah Billy, dan dia tertidur pulas sekali. Hhhhh anak ini memang hobinya tidur kalau sudah masuk mobil. Yah, meskipun wajahnya ketika tidur itu cukup menggemaskan. Sambil menunggu Billy bangun, aku memutuskan untuk menikmati udara pagi sebentar saja. Keluarlah aku dari mobil dan bersender sambil menghadap ke arah sekolah. Aku langsung menyalakan sebatang rokok karena udara pagi saat itu cukup dingin. Sambil menghabiskan satu batang itu, aku melihat anak-anak mulai berjalan ke arah sekolah dengan berkerumun.

Sebentar. Rasanya ada yang terlupakan. Seharusnya hari ini ada sesuatu. Tapi apa ya?

Aku coba mengingat-ngingat hari apa ini tapi tetap saja aku tidak bisa mengingat apa-apa. Tak terasa sudah lima belas menit berlalu. Saatnya untuk membangunkan Billy.

“Bangun Billy, kita sudah sampai.”

“Wahh… cepat sekali…” Billy terbangun dan mengusap matanya yang masih setengah ngantuk itu.

“Hayo, nanti kamu cuci muka dulu ya sebelum masuk kelas. Biar tidak ngantuk pas guru sedang mengajar.”

“Hehehe oke deh Pa.”

Billy langsung memelukku dengan erat. Setelahnya, dia langsung berlari menuju lima anak yang sedang berkerumun. Sepertinya mereka itu teman-teman sekelasnya.

Tak lama setelah itu, handphone-ku berbunyi. Aku mengambilnya dan melihat layar kecil yang ada di situ. Oh, rupanya Hayley yang menelpon.

“Hei sayang, ada apa?” Tanyaku.

“Tom, kamu lupa ya hari ini hari apa?”

“Hah? Hari ketika kita pertama kali kencan kah?” Aku sama sekali lupa hari ini hari apa. Refleks, kujawab saja seperti itu.

“BUKAAAAAAAANNN!!!!!” Ah, kenapa dia harus berteriak seperti itu sih.

“Terus hari ini hari apa dong?”

“Hari ini itu… hari ulang tahun Billy yang kesepuluh…”

Oh rupanya Billy ulang tahun hari ini.

….

EH??? HARI INI BILLY ULANG TAHUN???

“Haduhhhh kenapa kamu baru bilang sekarang…?”

“Habisnya… aku juga baru teringat tadi hehehe… selamat mencari kadonya sendiri yah.”

“Lah, enak sekali kamu menyuruhku mencari kadonya sendirian…”

“Ya habis mau bagaimana lagi. Di rumah lagi kosong makanan nih. Aku mesti belanja dulu sekarang. Bye, sayang.”

Oke, langsung ditutup.

Billy hari ini ulang tahun. Ternyata itu yang mengganjal di pikiranku sejak tadi. Hhhhh bisa-bisanya aku dan Hayley lupa dengan hari bersejarah ini. Tampaknya Billy juga lupa karena perilakunya biasa saja sejak tadi pagi. Ah, sudahlah. Sebaiknya aku langsung saja mencari kadonya sekarang. Mumpung sekolah masih lama berakhirnya, yaitu jam setengah 3 siang.

Sebaiknya aku beli apa ya buat Billy?

. . . . . . .

Pukul 02.30 pm.

Fuhhh untung saja aku tepat waktu sampai di sekolah untuk menjemput Billy. Tentu saja aku sudah membelikan kado untuknya. Aku meletakkan kado itu di kursi depan mobil tempat dia biasa duduk untuk menambah keterkejutannya.

Ah, itu dia Billy. Dia berjalan keluar dari sekolah bersama teman-temannya. Ketika dia melihatku, wajahnya berubah jadi agak murung. Dia sudah ingat rupanya. Billy terlihat berpamitan dengan teman-temannya dan kemudian dia berjalan menghampiriku.

“Hai Billy.”

Hey Dad.”

“Ada apa nak di sekolah? Kenapa wajahmu murung sekali?” Aku sok-sok saja bertanya.

Padahal aku tahu persis kenapa dia murung. Sejak dulu, di keluarga kami ada sebuah tradisi. Jika diantara kami bertiga ada yang berulang tahun, kami akan membangunkannya di pagi hari dan memberikan sebuah kado yang sudah disiapkan sehari sebelumnya. Tadi pagi, malah dia yang membangunkanku. Ditambah dengan tidak adanya kado yang diberikan. Itulah kenapa Billy menjadi murung.

“Eh? Ooooh ya begitulah.” Jawabannya cukup singkat. Kelihatan sekali dia sedang menyembunyikan sebuah kekecewaan. Yah tak lama lagi wajah itu akan berubah ceria.

Nah, ini dia yang kutunggu. Billy mulai berjalan ke arah pintu penumpang depan.

3…

2…

1…

…..

Billy membuka pintu mobil.

“UWAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHH!!!!!” Billy langsung kaget. Di depannya adalah sebuah gitar yang di bagian tuning-nya terikat sebuah pita biru, warna kesukaan Billy.

Kenapa gitar? Sebulan yang lalu, kalau aku tidak salah ingat, Billy pernah memintaku untuk mengajarinya bermain gitar ketika aku baru pulang dari konser. Sayangnya waktu itu aku sudah capek sekali sehingga tidak bisa menuruti kemauannya. Kupikir, sebuah gitar sebagai kado ulang tahunnya yang ke sepuluh merupakan pilihan yang tepat.

“Hahahaha Happy 10th birthday Billy!

“Loh… Aku kira… Papa tidak ingat…” Air mata kebahagiaan langsung keluar dari matanya disertai wajahnya yang perlahan berubah ceria.

“Papa macam apa aku ini jika ulang tahun anak sendiri saja tidak ingat? Hahaha.” Padahal, aku betul-betul tidak ingat sebelumnya. Untung saja Hayley menelpon waktu itu.

Karena rasa terharu yang sangat kuat, Billy langsung memelukku. Meski suaranya agak kecil, aku bisa mendengar ucapannya.

Thank you, Dad.”

Tepat ketika Billy mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba suasana langsung menjadi hening dan pandanganku menjadi gelap dengan seketika.

. . . . . . .

Aku terbangun. Hal yang pertama yang kurasakan adalah beberapa goncangan. Aku melihat jendela yang ada si sebelah kiriku. Perlahan aku mencoba membangunkan diriku meraih jendela itu. Terlihat suasana malam jalanan kosong yang damai. Ah, pemandangannya kenapa terasa berjalan?

Oh, ternyata aku sedang berada di sebuah bus khusus. Dan sadarlah aku bahwa peristiwa yang kualami sebelumnya adalah mimpi.

Ya, mimpi. Bisa-bisanya aku bermimpi seperti itu. Wajar sih, karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Aku dan Hayley sudah sepakat untuk menamai bayi kami Billy semenjak kelamin dari anak itu sudah diketahui, yaitu laki-laki. Hhhhh sudah tidak sabar lagi rasanya.

Saat ini, aku dan band-ku dengan bus khusus ini sedang dalam perjalanan menuju sebuah kota yang merupakan kota terakhir dalam tur manggung kami. Sudah hampir setahun tur ini berjalan. Begitu tur ini selesai, aku akan langsung mengambil perjalanan terbang menuju kota tempat Hayley berada. Untuk menemaninya ketika saat-saat dia akan melahirkan tiba. Tentu saja aku sudah menyiapkan tiket pesawatnya.

Ketika aku sedang menikmati pemandangan malam hari dari jendela bus, tiba-tiba saja handphone-ku berbunyi. Oh, rupanya Hayley yang menelpon. Aku angkat saja telponnya.

Ada apa ini? Aku hanya mendengar suara isak tangis.

“Hayley? Ada apa? Kamu menangis?” Tanyaku.

“Sayang… Ada berita buruk… Sangat buruk…”

…..

…..

Tak lama setelah itu, hanya ada tangisan diantara kami.

. . . . . . .

Semenjak aku menerima telpon dari Hayley di hari itu, semuanya seakan tidak sama lagi.

Saat ini, aku sedang berdiri di depan sebuah kuburan yang kecil. Ini adalah kuburan milik seorang bayi yang meninggal 10 tahun yang lalu. Penyebabnya karena lahir prematur sebelum genap 9 bulan. Yang akhirnya hanya menghembuskan napas selama 4 jam dikarenakan beberapa organ vital yang tidak berfungsi dengan baik.

Ya, ini adalah kuburan milik Billy.

Malam sebelum aku datang kesini, aku mendapat mimpi yang sama persis dengan waktu itu. Aku bermimpi bagaimana kehidupanku saat ini jika seandainya waktu itu Billy lahir dengan selamat. Aku bermimpi ketika Billy berulang tahun yang ke sepuluh. Pelukannya di mimpiku itu masih terasa.

“Sayang, masih ingin berada di sini?” Ucap Hayley yang sejak tadi memeluk tangan kananku.

“Dia… seharusnya berumur genap 10 tahun saat ini…” Perlahan, air mata keluar dari mataku.

“Iya… setiap malam aku membayangkan dia memakai piyama sambil menonton Star Wars.”

“Hayley…”

“Hm?”

“Maafkan aku karena tidak ada didekatmu saat dia lahir. Aku menyesal tidak sempat melihat wajah mungilnya ketika dia masih bernapas…” Air mata ini terus mengalir.

“Sudah sudah, sayangku. Bagaimana pun juga, kejadian itu terlalu tiba-tiba. Aku tahu kamu bukan manusia super yang bisa berpindah tempat dari California menuju Ohio dalam sekejap.” Dia melihat kearahku dengan senyumannnya yang khas.

Sungguh tegar sekali perempuan yang ada di kananku ini. Padahal bisa saja dia trauma seumur hidup karena dialah yang melahirkan. Namun tidak, Hayley tetap bisa tersenyum. Mungkin suatu pendapat yang menyatakan bahwa perempuan itu punya mental lebih kuat dari laki-laki ada benarnya juga.

“Tom, mari kita pulang.”

Sambil menyeka air mata dari wajahku, aku mengganguk.

Kami berdua berjalan meninggalkan kuburan itu. Sesekali, aku melihat ke arah kuburan sambil mengingat momen-momen yang ada di mimpiku itu. Momen-momen yang tidak pernah terjadi secara nyata.

Selamat tinggal, Billy. Maafkan aku karena tidak ada di dekatmu di saat-saat terakhir. Dan seandainya kamu masih ada, you would be harmony to every single part me. And you would have all the love in my heart.

-THE END-


Share: